Mengenal PCR: Identifikasi Penyakit Masa Kini

Jala | Christine Kombong

11 October 2019

Kemunculan penyakit merupakan permasalahan utama pada budidaya udang secara global termasuk bagi petambak udang Indonesia. Salah satu contoh yaitu menurut majalah Trobos Aqua edisi 87, Thailand dan Vietnam -yang merupakan dua pengekspor udang terbesar di Asia Tenggara- mengalami penurunan jumlah ekspor yang cukup besar pada tahun 2018 akibat dari infeksi penyakit Early Mortality Syndrome (EMS). Sedangkan bagi Indonesia, walaupun total ekspor udang mengalami kenaikan dari tahun-tahun sebelumnya, namun serangan penyakit seperti IMNV atau Myo, WFD, WSSV, AHPND, dan IHHNV masih belum dapat terelakkan. 

Selain usaha-usaha teknis seperti mengontrol kualitas air, pakan dan kapasitas kolam, identifikasi penyakit sejak dini juga dibutuhkan untuk memastikan benur bebas dari infeksi. Dewasa ini identifikasi penyakit dengan metode Polymerase Chain Reaction (PCR) mulai dilirik oleh petambak karena memiliki hasil akurat sebagai metode diagnosa penyakit, dan tidak hanya itu saja PCR juga dapat diterapkan pada indukan atau udang yang telah positif terserang penyakit untuk memastikan kembali jenis penyakit dan selanjutnya dapat dilakukan langkah pencegahan pada siklus berikutnya.

Chalor Limsuwan, peneliti penyakit udang dari Thailand menganjurkan untuk dilakukan Quality Control (QC) tiga tingkat dalam pengecekan udang terinfeksi Vibrio parahaemolyticus yang menyebabkan AHPND/EMS. Tahap pertama, yaitu untuk mengetahui apakah benur/indukan terinfeksi bakteri dari kelompok Vibrio spp., selanjutnya tahap kedua untuk memastikan apakah terdapat vibrio jenis V. parahaemolyticus dan yang terakhir jika tahap dua positif, maka perlu dianalisis lebih dalam apabila toksin yang menyebabkan penyakit muncul. Dari hasil tersebut dapat dilakukan tindakan berikutnya berupa mengeliminasi benur/indukan maupun meningkatkan kualitas air tambak. Sebagai  teknologi terkini dalam diagnosa penyakit, langkah-langkah quality control seperti diatas dapat dilakukan PCR dengan sangat mudah dan dalam waktu singkat. 

PCR sendiri umumnya tersedia di laboratorium balai-balai perikanan di Indonesia misalnya di Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau (BBPBAP) Jepara, Balai Perikanan Budidaya Air Payau (BPBAP) Situbondo dan beberapa balai perikanan lain yang menjadi laboratorium acuan dan penguji penyakit. Biasanya sampel terlebih dahulu dipersiapkan oleh para petambak untuk kemudian dikirim ke laboratorium dan dianalisis. Sampel yang dipersiapkan berupa kaki renang (pleopod), hemolimfa, atau hepatopankreas dapat diambil dari calon benur yang akan ditebar atau udang yang mati karena terinfeksi penyakit dan kemudian dimasukan dalam alkohol 70% selama 24 jam sebelum dikirim. 

PCR kini telah berkembang sangat pesat untuk memfasilitasi identifikasi sampel langsung di lapangan secara real time dan dalam waktu yang lebih singkat. Prinsip kerja PCR yaitu penggandaan rantai DNA dalam jumlah jutaan kali hanya beberapa jam saja dan penanda/probe yang mutakhir. Teknologi ini berkontribusi besar sebagai solusi untuk meningkatkan mutu kualitas benur/indukan dan sebagai langkah dini pencegahan penyakit. Bayangkan saja anda dapat mengetahui kualitas benur/indukan bebas penyakit kurang dari satu hari dan secara otomatis telah memulai langkah pencegahan lebih dini.

(Christine)

 

Referensi:
Asep. Satu Dekade Hadapi EMS. Trobos Aqua. 15 Agustus-14 September 2019 Edisi 87/Tahun VII. Hal. 26-28
Handoyo, D and Rudirenta, A. 2001. Prinsip umum dan pelaksanaan Polymerase Chain Reaction (PCR). Universitas Surabaya volume 9 No.1
Meilaka. Perluasan tambak yang terarah. Trobos Aqua. 15 Agustus-14 September 2019 Edisi 87/Tahun VII. Hal.16-18
Rizki. Perhatikan Lingkungan Budidaya Udang. Trobos Aqua.15 Juni-14 Juli 2019 Edisi 85/Tahun VII. Hal 30-33