Permasalahan yang sering terjadi pada budidaya udang di Indonesia adalah kerusakan lingkungan akibat eksploitasi berlebihan dalam pemanfaatan lahan untuk tambak udang. Hal ini menyebabkan degradasi lingkungan secara kimiawi, fisik, dan biologi yang secara berantai justru dapat menyebabkan penurunan produksi tambak. Maka, diperlukan inovasi teknologi yang produktif berkelanjutan serta ramah lingkungan. Salah satu konsep yang dapat diterapkan adalah Teknologi Budidaya Multi-trofik Terintegrasi atau Integrated Multi-trophic Aquaculture (IMTA).
Sistem IMTA merupakan sistem budidaya yang menggabungkan beberapa komoditas dengan tingkat trofik berbeda. Artinya, setiap komoditas memiliki fungsi yang berbeda dan berkesinambungan sehingga ekosistem dapat terjaga dengan baik. Misalnya melibatkan mikroalga atau rumput laut sebagai produsen utama, kemudian ikan dan udang sebagai konsumen I, kerang sebagai organisme ekstraktif atau penyerap bahan organik, dan udang sebagai komoditas utamanya.
Konsep IMTA menggabungkan komoditas dengan tingkatan trofik yang berbeda. Sistem IMTA dapat membantu menjaga keseimbangan ekosistem karena setiap spesies memiliki fungsi yang berbeda seperti karnivora, herbivora, dan biofilter. Prinsip dari sistem IMTA yaitu mendaur ulang limbah dari proses budidaya yang dihasilkan oleh spesies utama yaitu udang dan ikan sebagai sumber energi dan nutrien bagi komoditas lainnya, sehingga menghasilkan produk yang dapat dipanen dan dapat mengurangi dampak kerusakan lingkungan.
Limbah sisa pakan udang dan ikan dimanfaatkan oleh kerang untuk pertumbuhan sekaligus berperan sebagai biofilter yang dapat meningkatkan kualitas air budidaya. Rumput laut berperan sebagai produsen yang menyerap nutrisi dari perairan, pupuk, dan sisa metabolisme biota dalam tambak, sehingga kualitas air tambak terjaga sekaligus mendukung pertumbuhan rumput laut. Ikan juga mempunyai peranan untuk memperbaiki kualitas air budidaya. Ikan yang bergerak dalam air dapat membawa arus yang mengandung oksigen terlarut sehingga kebutuhan oksigen udang dapat tercukupi dengan baik.
Sistem terintegrasi ini dapat meningkatkan produktivitas udang sekaligus menghasilkan kualitas air yang optimal. Sehingga konsep IMTA merupakan teknologi bersih (green technology) yang dapat meminimalisir limbah.
Secara ringkas, keunggulan sistem IMTA adalah sebagai berikut:
Langkah pertama dalam implementasi IMTA adalah melakukan pemilihan komoditas budidaya sebagai berikut,
Udang Vaname
Udang vaname (Litopenaeus vannamei) memiliki keunggulan yaitu mudah dibudidayakan, responsif terhadap pakan, memiliki pertumbuhan yang baik meskipun hidup di kualitas lingkungan yang buruk, memiliki nilai kelangsungan hidup (survival rate) tinggi, serta dapat dibudidayakan pada padat tebar cukup tinggi dan waktu pemeliharaan yang relatif singkat yakni sekitar 90-100 hari per siklus.
Ikan Nila
Ikan nila (Oreochromis niloticus) merupakan ikan dengan tingkat produktivitas yang tinggi, memiliki pertumbuhan yang relatif cepat serta memiliki sifat yang tahan (resistant) terhadap kualitas lingkungan yang buruk. Selain itu, ikan nila merupakan pemakan plankton yang cenderung pemakan segalanya (omnivorous). Beberapa penelitian melaporkan bahwa ikan nila mempunyai potensi dalam menghambat pertumbuhan beberapa bakteri patogen seperti Vibrio spp..
Rumput Laut
Rumput laut merupakan organisme yang dapat digunakan pada tingkat tropik level terendah karena dapat memanfaatkan komponen anorganik untuk pertumbuhannya.
Kekerangan
Kekerangan atau berbagai jenis kerang pada sistem IMTA berfungsi sebagai biofilter. Kemampuan kerang sebagai organisme filter feeder dapat menyerap fitoplankton, bakteri, jamur, flagellata, dan bahan organik lainnya yang tersuspensi di air sehingga kualitas air tetap terjaga dengan baik.
Penelitian yang dilakuan oleh Rejeki et al., 2016 sistem IMTA dengan organisme yang dibudidayakan yaitu bandeng (Chanos chanos), nila (O. niloticus), udang putih (P. vannamei), rumput laut (Gracilaria verrucosa), dan kerang hijau (Verna viridis) terbukti mampu menjaga kualitas air yang berdampak terhadap ketersediaan pakan alami yang dapat mendukung laju pertumbuhan organisme yang dibudidayakan.
Penerapan budidaya sistem IMTA identik dengan budidaya polikultur atau budidaya dengan beberapa jenis organisme pada tingkat trofik berbeda pada rantai makanan mulai dari produsen, konsumen, hingga filter feeder. Sistem IMTA selain dapat memberikan keuntungan secara ekologis juga dapat memberikan keuntungan secara ekonomis.
Referensi:
Biswasa, G., P. Kumara, T. K. Ghoshala, M. Kailasam, D. Dea, A. Berab, B. Mandala, K. Sukumaran, and K.K. Vijayan. Integrated multi-trophic aquaculture (IMTA) outperforms conventional polyculture with respect to environmental remediation, productivity and economic return in brackishwater ponds. Aquaculture.516: 1-8.
Purnamasari, I., D. Purnama, dan M. A. F. Utami. 2017. Pertumbuhan Udang Vaname (Litopenaeus vannamei) di Tambak Intensif. Jurnal Enggano. 2 (1) : 58-67.
Putra, A. dan M. Mulyono. 2023. Implementasi Akuakultur Biru Melalui Sistem IMTA (Integrated Multi-Trophic-Aquaculture). Jurnal Kelautan dan Perikanan Terapan: 117-122.
Rejeki, S., R. S. Ariyati, and L. L. Widowati. (2016). Application of Integrated Multi Trophic Aquaculture Concept in an Abraded Brackish Water Pond. Jurnal Teknologi. 78 (4): 227-232.
BIOGRAFI SINGKAT
Nur Setya Wati atau lebih sering disapa Tia tinggal di kota Semarang dan menjadi salah satu mahasiswa Universitas Diponegoro Program Studi Akuakultur. Tia lahir di Rembang pada tanggal 2 Mei 2000. Tia memiliki ketertarikan dalam perikanan dan kelautan, dan hobinya adalah membuat aquascape.