Budidaya Mengandalkan Bakteri

Jala | Wildan Gayuh Zulfikar

12 December 2019

Menjaga kualitas air adalah pekerjaan besar dalam budidaya udang. Berbagai metode dikembangkan dan masing-masing petambak memiliki preferensi dalam menggunakan metode budidaya. Salah satu metode yang cukup berkembang adalah metode atau sistem bioflok. Metode ini pada dasarnya adalah pergeseran sistem autotrof menjadi heterotrof.

Membentuk bioflok di kolam artinya membentuk koloni yang meliputi berbagai macam spesies, dengan kumpulan bioflok yang terdiri dari bakteri, jamur, protozoa, alga, dan cacing. Proses pembentukan flok menggunakan senyawa nitrogen dari sisa pakan udang adalah suatu simbiosis yang dapat menstabilkan kualitas air dan mendukung pertumbuhan udang. Penting juga diperhatikan bahwa pembentukan bioflok harus didesain dari awal karena sedini mungkin diupayakan terjadi pergeseran autotrof menjadi heterotrof. Biasanya apabila didesain dari awal, sistem autotrof sudah sedemikian kuat, plankton sudah blooming dan sangat sulit untuk menggesernya. Pergeseran komunitas di pertengahan budidaya akan beresiko menyebabkan udang stres. Dalam kondisi tersebut udang menjadi rentan terkena penyakit.

Konsep dasar bioflok adalah mengubah senyawa organik dan anorganik yang mengandung senyawa karbon, hidrogen, oksigen, nitrogen, dan sedikit fosfor menjadi masa endapan berupa bioflok dengan mengandalkan bakteri pembentuk flok. Tujuan utamanya dari teknologi bioflok adalah memanfaatkan limbah nitrogen anorganik dalam kolam budidaya menjadi nitrogen anorganik yang tidak bersifat toksik. Sistem bioflok menekankan pada penumbuhan bakteri pada kolam untuk menggantikan komunitas autotrofik yang didominasi oleh fitoplankton.

Sistem autotrof adalah sistem dengan dominasi fitoplankton yang memanfaatkan sinar matahari. Sumber utama kehidupannya adalah karbon anorganik (CO2 dan HCO3-) yang digunakan dalam fotosintesis. Sistem heterotrof didominasi bakteri. Bahan organik diperlukan sebagai sumber energi dan karbon. Sistem ini bekerja 24 jam karena tidak dipengaruhi oleh ada tidaknya sinar matahari sebagaimana sistem autotrof. Pertumbuhan bakteri heterotrof dirangsang melalui penambahan karbon organik untuk meningkatkan rasio karbon dan nitrogen (C:N).

Rasio C:N dihitung dengan mempertimbangkan input N yang berasal dari pakan, kemudian menyesuaikan rasio karbon (C) dengan menambahkan sumber C misalnya molase. Banyaknya input pakan berkaitan erat dengan memburuknya kualitas air. Semakin padat tebar semakin tinggi input pakan. Protein pakan relatif tinggi (>30%) menghasilkan limbah utama berupa amonia dan partikel organik. Maka dari itu metode bioflok ini dianggap sebagai upaya dalam menangani pakan yang terbuang.

Bioflok akan terbentuk jika rasio C:N dalam kolam lebih dari 15. Amonia dan nitrit dalam sistem ini dapat ditekan dan dimobilisasi menjadi nitrogen organik dalam bentuk protein sebagai biomassa bakteri, salah satunya juga berasal dari protein pakan yang tidak termakan udang.

Pada sistem bioflok, selama budidaya hanya dilakukan penambahan air sebagai akibat dari penguapan dan sipon pembuangan lumpur dasar. Sistem pengaerasian dan pengadukan yang pas diupayakan menjangkau semua kolom air dan dasar kolam. Didukung dengan penentuan jenis, jumlah, dan posisi/arah kincir yang tepat sesuai dengan bentuk kolam. Kincir diperlukan dan diharuskan mampu menciptakan pengadukan yang cukup untuk mencegah zona sedimentasi/pengendapan kotoran kecuali di tempat yang sudah ditentukan.

Bioflok mempunyai potensi besar untuk dikembangkan karena dapat menjadi solusi dalam memperbaiki kualitas air dalam hal amonia, oksigen terlarut, alkalinitas, dan pH. Bakteri heterotrof akan mendaur senyawa nitrogen terutama amonia sehingga kualitas air semakin nyaman bagi pertumbuhan udang. Oksigen terlarut (DO) akan relatif stabil pada siang maupun malam hari karena fitoplankton tidak dominan melainkan digantikan oleh bakteri. Namun ketersediaan kincir secara kontinu tetap mutlak diperlukan untuk menjaga ketersediaan DO dan menjaga pergerakan air untuk menghindari pengendapan bioflok. Dengan minimnya pengguna karbondioksida karena populasi fitoplankton tertekan maka alkalinitas maupun pH akan terjaga.

 

Referensi:
Boyd, C. E., and C. S. Tucker. 1998. Pond Aquaculture Water Quality Management. Springer Science+Business Media. New York.
Kusdaryanto, R. 2018. Sistem Bioflok untuk Budidaya Vaname yang Lebih Optimal. MS Bulletin Vol. 40. Hal: 16-18.
Supono. 2017. Teknologi Produksi Udang. Plantaxia. Yogyakarta.
Supono. 2018. Manajemen Kualitas Air Untuk Budidaya Udang. AURA. Bandar Lampung.